Dalam dunia arkeologi, keramik dipandang sebagai artefak bertanggal mutlak. Artinya, oleh pakar yang berkompeten, pertanggalan dan asal keramik dapat diidentifikasi.
Pertanggalan dan asal keramik diketahui berdasarkan warna glasir, teknik glasir, pola hias, teknis hias, jenis bahan, dan sisa pengerjaan. Keramik setiap negara memang memiliki karakteristik tertentu.
Pertanggalan
Keramik kuno bisa memberi pertanggalan kepada artefak-artefak lain yang ditemukan di sekitar keramik tersebut. Umumnya keramik yang ditemukan para arkeolog berbentuk pecahan. Meskipun begitu, tetap mengandung data untuk penulisan sejarah kuno.
Lain lagi di mata kolektor. Mereka mengoleksi keramik utuhan, apalagi yang berkategori unik dan langka. Banyaknya koleksi keramik menjadi penanda status sosial mereka. Ini mengingat harga koleksi keramik sangat mahal di mata awam. Banyak kolektor juga memandang keramik sebagai benda investasi.
Bagaimana pandangan arkeolog dan kolektor terhadap keramik, inilah yang diperbincangkan pada kegiatan Diskusi Arkeologi bertema “Keramik: Dalam Perspektif Peneliti Arkeologi, Kolektor, dan Pengampu Kebijakan”. Diskusi diselenggarakan pada Kamis, 21 November 2019 di Marine Heritage Gallery, Gedung Mina Bahari 4 Lantai 2, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jalan Batu No. 16, Jakarta Pusat. Turut berperan dalam diskusi tersebut Himpunan Keramik Indonesia (HKI).
Kegiatan Diskusi Arkeologi menampilkan empat pemakalah, yakni Boedi Mranata (Ketua HKI), Naniek Harkantiningsih (Ahli Keramik, pensiunan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), Yusmaini Eriawati (Peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Zainab Tahir (Kepala Seksi BMKT, KKP).
Istimewa
Sebagai kolektor Pak Budi menganggap jika keramik bagus, maka kerajaan yang disinggahi kapal asing termasuk besar atau jaya. Sebaliknya jika keramik jelek, maka ditafsirkan kerajaan yang disinggahi kecil.
Pak Budi juga bercerita tentang martavan (semacam gentong) Tiongkok yang laku di Kalimantan dan banyak dipakai suku Dayak. Sampai sekarang budaya martavan, katanya, masih ada di Kalimantan. Jadi martavan merupakan asimilasi Dayak-Tiongkok.
Beliau juga mengungkapkan keramik yang disebut mi-se colour. Setelah lama terpendam, baru diperoleh informasi dari reruntuhan pagoda Famen. Mi-se termasuk istimewa karena merupakan sumbangan kaisar. Ada 16 benda mi-se yang disumbangkan ke pagoda tersebut. Ternyata keramik jenis ini ditemukan pada Cirebon Wreck yang tenggelam di perairan Nusantara. Bahkan berjumlah banyak sehingga menimbulkan beberapa tafsiran.
Menurut Pak Budi, keramik terbaik dari dinasti Yuan ada di Nusantara. Memang di Turki dan Iran ada keramik sejenis, namun tidak sebanyak di Nusantara.
Keramik sebagai dekorasi dan status sosial, menurut Pak Budi, ditemukan di berbagai tempat. Keramik Tiongkok banyak menghiasi istana-istana Eropa. Sebagai dekorasi, keramik antara lain menghiasi Masjid Agung Demak.
Nilai keindahan keramik diperhatikan para kolektor. Jadi boleh dibilang keramik-keramik kuno di Marine Heritage Gallery ini kurang bernilai komersial karena warnanya sudah termakan air laut. Memang sekarang yang tersisa berwarna tunggal kecoklatan, bahkan dilapisi karang.
Pecahan
Menurut Ibu Naniek, kalau arkeolog menemukan keramik utuhan justru bingung. Dari pecahan, arkeolog bisa mengetahui teknologi dan bahan, misalnya. Ibu Naniek sering meneliti keramik di banyak situs di Nusantara. Yang menarik, sebuah masjid di Cirebon menggunakan keramik sebagai bagian dari dekorasi. Sebagian gambar diambil dari kitab suci umat Kristiani. Ibu Yusmaini Eriawati juga mengemukakan pecahan keramik yang banyak ditemukan di Trowulan.
Khusus keramik dari laut disampaikan oleh Ibu Zainab Tahir. Bukan bendanya tapi kebijakan dari instansinya. Dikemukakan soal pembentukan Panitia Nasional Benda-benda Muatan Kapal Tenggelam yang dikenal sebagai BMKT pada 1989. Panitia itu dibentuk karena mulai 1985 muncul berita besar tentang penjarahan harta karun laut di perairan Nusantara yang kemudian dilelang di mancanegara. Karena dikategorikan sumberdaya kelautan, maka instansinya menjadi ‘lokomotif’ bagi benda-benda yang berada di dalam laut, termasuk kapal kuno yang tenggelam.
Perairan kita, sungai dan laut, memang luas. Dulu perdagangan antarnegara dilakukan melalui jalur tersebut. Namun, di tengah perjalanan kadang terjadi bencana alam, peperangan, kerusakan teknis, dan sebagainya sehingga kapal-kapal tersebut tenggelam. Nelayanlah yang pada awalnya berjasa menemukan benda kuno, yang kemudian menjadi buruan pencari harta karun tradisional hingga bangsa asing dengan modal besar.
Sulitnya mengawasi kawasan perairan ditambah kekurangpedulian masyarakat dan pemerintah, mengakibatkan harta dari perairan kita dicuri sindikat-sindikat internasional. Meskipun kemudian investor swasta ikut mengangkat BMKT secara legal, namun itu pun kurang mendukung karena kemudian terjadi moratorium. Sudah mengeluarkan biaya besar, barang-barang tidak boleh dijual. Apalagi sejak terbitnya Undang-undang Cagar Budaya 2010.
Ada teori, biarkan barang-barang tersebut berada di dalam air supaya aman. Namun siapa yang bisa menjamin kalau benda-benda itu tidak dicuri.
Nah, inilah masalahnya sebagaimana mengemuka dalam diskusi tersebut. Yang bikin ironis, ternyata benda-benda adikarya dari perairan Nusantara, justru dimiliki museum di Singapura. Pelajaran berharga buat kita. Apalagi sampai kini masih banyak kapal tenggelam belum terangkat ke darat.
Sumber : https://www.kompasiana.com